Salah satu penentu kualitas suatu bangsa adalah dapat dilihat dari bagaimana keadaan pendidikan di negara tersebut. Kualitas pendidikan di suatu bangsa tersebut juga tidak bisa tiba-tiba saja menjadi baik, semuanya membutuhkan proses yang panjang. Saat ini seperti di lansir oleh idntimes.com Korea Selatan adalah negara yang menempati urutan pertama sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Kemudian di susul oleh negara-negara lain seperti Jepang, Singapura, Hongkong dan sebagainya. Mereka pasti mendapat predikat terbaik tidak hanya di dapat melalui proses satu atau dua tahun saja. Ada puluhan tahun penggantian, uci coba, perbaikan, sampai pada titik menemukan sistem pendidikan yang pas untuk di terapkan. Lalu bagaimana dengan Pendidikan di Indonesia?
Pendidikan di Indonesia Masih Belum Optimal
Menurut Anies Baswedan, salah satu penggiat pendidikan tanah air, dilansir dari website prestasi-iief.org, faktor utama penghambat naiknya kualitas pendidikan adalah sulitnya akses di daerah. Beliau mengatakan jika sejatinya Jabodetabek sudah memenuhi jumlah yang proporsional, namun yang menjadi masalah adalah daerah di luar urban. Hal inilah yang secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk urbanisasi ke daerah yang mempunyai akses lebih baik. Mereka berfikir ketika sampai di kota akan mampu memperoleh pendidikan yang lebih baik dan layak.
Bayangkan saja, saat kita yang hidup di kota bisa merasakan fasilitas sekolah yang memadai, teman-teman di daerah pedalaman harus berbagi kelas. Bahkan, tidak jarang sekolah tersebut merupakan bekas kandang ternak. Sungguh hal yang memprihatinkan, ketika mereka seharusnya bisa belajar di kelas dengan nyaman dan tenang. Para pelajar di ujung negeri yang belum tersentuh infrastruktur memadai umumnya juga terkendala bahan ajar. Buku-buku yang mereka miliki kadang kurang, kadang tidak up to date layaknya buku para pelajar di kota. Alhasil mereka hanya menggunakan buku yang mereka miliki dan mengandalkan materi yang guru mereka berikan selama di sekolah.
Jika ada yang mengatakan, belajar tidak harus dari buku, belajar bisa dari internet. Tapi apakah hal tersebut akan berlaku di daerah pedalaman? Meski internet sekarang ini merupakan hal yang memudahkan belajar dalam menambah materi ilmu secara pribadi, namun sayangnya masih banyak anak-anak di daerah pedalaman Indonesia yang belum bisa menikmati kemudahannya. Untuk merasakan Interet, mereka harus pergi ke kota dan menempuh perjalanan yang tidak singkat. Meski Pemerintah bersama para penyedia layanan internet juga sudah berusaha meratakan pembangunan komunikasi, namun nyatanya masih ada saja daerah yang belum terjamah.
Hebatnya, kini banyak anak dan orang tua di Indonesia yang sebenarnya sudah mulai sadar bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan. Banyak anak-anak di ujung pulau yang berangkat menempuh medan berat hanya demi datang ke sekolah. Beberapa datang dengan bantuan orang tua, beberapa berjalan sendiri melalui jalanan sulit berkilo-kilo jauhnya. Bahkan, beberapa saat yang lalu kita disuguhi pemandangan miris bagaimana seorang anak harus menyeberang jembatan yang putus agar bisa sampai ke sekolah.
Jika semangat seperti ini sudah ada, ada baiknya Pemerintah beserta para jajarannya cepat dalam melakukan pembangunan. Jalan, jembatan, serta sarana transportasi yang layak adalah hal yang harus di sediakan pemerintah untuk mempermudah pelajar di ujung pulau. Menilik dari hal ini, ada satu kesimpulan yang dapat diambil, yakni akses pendidikan memang harus dibuka luas agar masyarakat secara rata menikmatinya.
Salah satu cara yang sering ditempuh para penggiat pendidikan tanah air untuk memeratakan ilmu ini adalah dengan membuat program pengajaran ke berbagai pelosok di Indonesia. Sebut saja Indonesia Mengajar. Program yang disambut antusias para sukarelawan pendidikan ini memberikan kesempatan kepada anak-anak di pelosok untuk merasakan bagaimana rasanya diajar oleh seseorang yang menempuh pengajaran yang lebih baik dari universitas-universitas ternama di Indonesia.
Solusi lain yang bisa dilakukan adalah melalui bantuan Pemerintah. Dilansir dari kompasiana.com, dikatakan jika pembangunan yang merata memang kunci keberhasilan pendidikan di seluruh Indonesia. Pembangunan bisa dimulai dari membangun gedung sekolah yang baik dan layak. Menurut Arwo Sujarwo dalam kompasiana tersebut, sungguh sayang jika dana yang ada hanya untuk membiayai rehabilitasi gedung saja. Alangkah baiknya jika dana yang ada dipakai untuk membangun gedung sekolah di pelosok daerah. Tentunya semua anak memiliki hak dan kesempatan memperoleh fasilitas sekolah yang layak, bukan?
Cara lain yang bisa dilakukan, tidak hanya untuk pemerintah, tapi juga masyarakat umum adalah dengan membagikan buku-buku pelajaran. Buku memang pusatnya ilmu. Dengan membagikan buku gratis bagi anak yang membutuhkan, artinya kita sudah ikut menolong menyelamatkan pendidikan bangsa lho. Selain itu, membagikan buku juga dapat membantu meningkatkan minat baca anak yang masih tergolong rendah.
Selain buku, kita juga bisa membagikan peralatan sekolah gratis. Selain untuk membantu menunjang belajar-mengajar, kita juga bisa menyampaikan dukungan kita melalui hal tersebut.
Dan yang paling utama, tentu saja dengan meningkatkan fasilitas infrastrukturnya. Dengan memperbaiki infrastruktur, kita tidak akan lagi menjumpai anak-anak yang ke sekolah melalui jalan rusak, menyeberangi sungai dengan rakit, dan masalah-masalah infrastruktur lainnya.
Kurangnya Tenaga Pengajar dan Kualitas Sumber Daya
Masalah lain yang menghadang selain pemerataan akses pendidikan adalah ketersediaan sumber daya. Menurut Hamid Muhammad, banyak lho sekolah di Indonesia yang masih kekurangan guru. Bahkan jumlahnya ditaksir mencapai hingga ratusan ribu. Luas wilayah Indonesia sudah tentu membutuhkan tenaga pengajar yang tidak sedikit. Saat ini untuk tingkat SD saja di perkirakan negara kita kekurangan lebih dari 100 ribu guru. Belum untuk tingkat SMP dan jenjang selanjutnya. Jika idealnya dalam satu sekolah dasar di kota terdapat 10 sampai 15 guru, di wilayah pelosok mungkin tidak ada separuhnya.
Hal tersebut sungguh keadaan yang ironis mengingat pemerataan pendidikan seharusnya sampai ke daerah terpencil juga. Kekurangan yang begitu besar di sebabkan oleh kualifikasi tenaga pengajar kita yang memang belum memadai. Maka sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah cepat dan tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Mengatasi hal ini, ada baiknya jika kementerian terkait dan pemerintah daerah bekerja sama agar manajemen guru tertata optimal, begitu ungkap Hamid dilansir dari website prestasi-iief.org.
Kepribadian Guru Ikut Menentukan Prestasi Siswa
Terkait dengan berbagai pemberitaan tentang kasus antara guru dan murid yang marak di media online serta televisi, ada satu hal yang dapat ditarik kesimpulan yakni kurangnya wibawa guru di zaman sekarang. Guru tidak lagi digugu dan ditiru muridnya, mereka malah seolah dijadikan seperti ancaman dan seseorang yang tidak berhak memberikan pelajaran. Padahal jika menengok ke masa silam, demi disiplinnya murid, guru bisa lho menghukum siswanya. Tapi di zaman sekarang tidak semudah itu.
Sejatinya tidak ada yang harus saling menyalahkan. Namun ada fakta menarik yang dilansir Jurusanku.com tentang pendidikan di Indonesia ini. Setelah dilakukan pengelompokkan atau bisa dibilang profiling suatu variabel penentu kesuksesan seseorang dalam dunia kerja, dengan variable kepribadian sebagai variable yang diteliti, ditemukan fakta menarik. Terdapat sebuah kecocokan antara kepribadian suatu guru tipe A dengan beberapa murid berprestasi. Dari uraian ini jelas dapat ditarik kesimpulan jika kepribadian seorang guru, cara mengajarnya, gaya berbicaranya, ternyata berpengaruh terhadap daya tangkap muridnya. Selain itu, data tersebut juga menunjukkan jika sejatinya tidak hanya murid saja yang wajib diedukasi, guru pun juga perlu edukasi dalam menghadapi berbagai kepribadian siswa.
Sementara itu, dilansir dari website prestasi-iief.org, Hamid menunjukkan jika saat ini jumlah guru SD di Indonesia, baik itu negeri atau swasta, ada sejumlah 1.850 ribu lebih. Fakta mengejutkannya, dari keseluruhan jumlah tersebut, terdapat 40% guru yang sejatinya belum memenuhi kualifikasi. Sedangkan sisanya, yakni 60% sudah berkualifikasi S-1. Dalam fakta skala internasional, UNESCO Education For All Global Monitoring Report 2012 menyebutkan jika kualitas pendidikan kita ada di nomor 64 dari 120 negara. Jika sudah begini, lalu siapa yang harus disalahkan dan bagaimana kita harus menyikapinya?
Nah, selaku pihak yang bertanggung jawab tentang pendidikan di Indonesia, Kemendikbud berusaha meningkatkan kualifikasi guru melalui berbagai pembelajaran khusus. Ada beberapa cara yang dilakukan, salah satunya dengan memberikan beasiswa melanjutkan S-1 untuk guru SD hingga SMP. Per tahunnya, Kemendikbud membiayai 100 ribu guru dalam menempuh jenjang S-1. Hal ini tentunya berguna selain meningkatkan kualitas, juga dapat meningkatkan pola pikir dan kepribadian serta tingkat kedewasaan guru nantinya. Diharapkan, cara ini juga secara tidak langsung dapat membantu mengurangi sikap siswa yang tidak hormat terhadap orang yang lebih tua, tidak tekun dalam belajar, dan hal-hal lain yang menjadi masalah dalam belajar-mengajar karena guru dapat lebih memahami muridnya.
Angka Putus Sekolah Yang Tinggi
Permasalahan lain yang menderu pendidikan di Indonesia adalah kasus putusnya sekolah di usia wajib belajar. Kemendikbud mengatakan di tahun 2010 silam saja, Indonesia memiliki lebih dari 1,8 juta anak yang putus sekolah setiap tahunnya. Faktor yang melatarbelakanginya pun membuat miris hati, yakni faktor ekonomi karena tidak adanya biaya, faktor ekonomi karena anak membantu bekerja orangtua, dan juga pernikahan dini. Hal tersebut disampaikan oleh Patdono Suwignjo yang dilansir dari website prestasi-iief.org. Melihat fakta yang ada, tidak heran jika di tahun 2013 berdasar laporan PBB, Indonesia ada di peringkat 121 dari 185 negara yang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah, yakni hanya 0,629. Bukankah harusnya ini menjadi renungan bangsa saat Negara tetangga serumpun kita, Malaysia, menempati peringkat 64.
Beberapa faktor yang melatarbelakangi hal-hal putus sekolah sebenarnya merupakan hal yang tidak harus terjadi. Bayangkan saja, anak tidak sekolah karena kondisi ekonomi yang tidak memadai. Anak juga harusnya tidak bekerja membantu orang tua mereka agar bisa makan dan bertahan hidup. Itu tugas orang tua, bukan seorang anak. Memang, orangtua tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena sejatinya keadaanlah yang memaksa mereka demikian. Tapi mau tidak mau, hal ini harus dicegah. Berdasar Penelitian McNeal Jr. (2014) yang dilansir dari indonesiadevelopmentforum.com, keterlibatan orangtua dinilai dapat meningkatkan prestasi anak. Bahkan, anak dapat melanjutkan ke jenjang Universitas karena adanya dukungan dari orangtua. Di daerah pelosok dimana banyak orangtua yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, tentu rsanya ini hampir mustahil. Namun tidak ada yang tidak mungkin. Partisipasi pemerintah dalam mengedukai orangtua diharapkan dapat mengurangi angka putus sekolah karena alasan ekonomi. Misalnya saja dengan memberikan pelatihan serta konseling terkait kesadaran orangtua.
Untuk sebab ketiga, yakni angka pernikahan dini yang meroket tinggi, harusnya bisa dicegah dengan baik. Orangtua harus ikut mencegahnya. Meski memang sebagian kasus dikarenakan budaya menikah muda di daerah yang masih kental, namun Pemerintah harus mencari cara untuk menguranginya. Oleh sebab itu, penanaman paham bahwa pendidikan adalah hal yang wajib dan penting juga harus di lakukan ke daerah-daerah agar tradisi menikah dini bisa dihilangkan.
Beda lagi dengan pernikahan dini akibat kesalahan siswa itu sendiri. Kasus married by accident memang banyak terjadi yang mana akibat anak melakukan hal yang seharusnya belum pantas mereka lakukan di usia sekolah. Untuk mengatasi hal ini, maka perbaikan moral harus di laksanakan secepatnya agar generasi muda kita bisa terselamatkan. Salah satu cara termudah dan tercepat adalah dengan membangun komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Dilansir dari indonesiadevelopmentforum.com, prestasi anak ternyata dipengaruhi oleh keaktifan orangtua dalam berdiskusi tentang pendidikan bersama mereka. Jadi, ada baiknya jika orangtua menyempatkan diri bertanya pada anak tentang apa yang dialami di sekolah, pelajaran apa yang diajarkan hari itu, dan juga tentang pergaulan mereka. Tunjukkan saja dukungan, kasih sayang, dan pengertian kepada anak.
Kerjasama antara orangtua dengan guru juga terbukti ampuh untuk mencegah anak mengalami putus sekolah lho. Dengan terjalinnya komunikasi antara guru dengan orangtua, maka akan tercipta benteng perlindungan yang baik bagi anak. Misalnya saja, guru dapatt menginformasikan hal-hal apa saja yang terjadi di sekolah sedangkan orangtua dapat memberikan guru informasi tentang si anak demi menunjang kegiatan pembelajaran. Bertukar informasi mengenai kekuatan dan kelemahan anak ini diharapkan dapat membantu mengurangi pergaulan bebas anak dan melemahnya nafsu belajar mereka, baik di sekolah maupun di rumah.
Kesejahteraan Guru Honorer Yang Kurang
Tidak bisa dipungkiri, di negara kita banyak tenaga pengajar yang statusnya masih sebagai tenaga honorer. Ironisnya meski mereka telah mengajar bertahun-tahun kesejahteraan tidak juga menghampiri mereka. Selain karena lamanya masa pengangkatan sebagai guru tetap, gaji seorang guru honorer setiap bulan bahkan bisa dikatakan miris. Seorang guru honorer di pelosok desa bahkan hanya menerima kurang dari 500 ribu rupiah untuk gaji bulanannya. Tentunya hal tersebut tidak sebanding dengan besarnya pengabdian yang mereka berikan kepada masyarakat dan Negara, bukan?
Menggalakan Wajib Belajar 12 Tahun
Dulu, agar penduduk Indonesia sadar tentang pentingnya pendidikan, Pemerintah menggalakan giat wajib belajar sembilan tahun. Jadi, di masa dimana semuanya sudah berubah, paling tidak kita harus menggalakkan wajib belajar 12 tahun, tidak 9 tahun lagi. Hal ini dilakukan agar anak-anak kita terhindar dari putusnya ilmu hanya sampai jejang sekolah menengah pertama. Paling tidak, sekolah harus sampai SMA.
Untuk mendukung program pendidikan ini, Pemerintah berupaya segala cara. Mereka telah memberikan keringanan bebas biaya pendidikan bagi pelajar sekolah dasar dan juga memberikan sokongan keringanan biaya untuk SMP dan SMA. Untuk melakukan pemerataan, pemerintah juga telah memberikan bantuan berupa dana BOS untuk siswa yang tidak mampu. Dana tersebut juga di berikan sebagai sumbangan pembangunan kepada sekolah-sekolah agar fasilitas pendidikannya semakin baik.
Beasiswa juga tidak luput diberikan kepada para pelajarnya yang berprestasi. Tidak tanggung-tanggung, Pemerintah bahkan bersedia membiayai hingga ke luar negeri. Sayangnya, hal tersebut kadang disalahgunakan oleh pelajar itu sendiri. Mereka tidak tekun belajar, tapi malah menganggap enteng tanggung jawab besar ini. Bahkan, terkadang banyak pula pelajar Indonesia yang telah menerima beasiswa namun tidak berkarya di negara sendiri. Meski godaan gaji dan segala fasilitas di luar negeri memang menggiurkan, namun bukan berarti membangun negeri tidak dipikirkan.
Perbaikan Sistem Pendidikan yang Mumpuni
Untuk memperbaiki sistem pendidikannya pemerintah telah memperbarui kurikulum penddikan yang telah di gunakan sejak lama. Terhitung sudah sejak tahun 2014 lalu pemerintah telah menerapkan kurikulum 2013 yang menitik beratkan pada penguasaan pengetahuan kontekstual. Penilaian kurikulum 2013 berada pada tiga titik yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan keilmuan. Dalam kurikulum yang baru ini siswa lebih di libatkan aktif dalam pelajaran dan tidak hanya berperan sebagai pendengar saja seperti dulu.
Kurikulum 2013 ini dinilai efektif lantaran sejatinya memang berfokus sesuai lingkungan masing-masingnya. Jadi misalnya, di tingkat dasar seperti SD, kurikulum ini akan digunakan sebagai pembentuk sikap dan pembekalan keterampilanย hidup pada anak-anak dengan tingkat keilmuan yang lebih ‘ringan’. Sementara itu, di tingkat seperti SMP dan SMA, keilmuan lebih diperbanyak sedangkan pembentukan kepribadian lebih dikurangi. Bahkan, ada beberapa bahan ajar yang tidak dicetak menjadi buku, melainkan ada dalam sebuah situs internet.
Low Order Thinking
Hal yang sangat miris untuk dikatakan, tapi sejatinya harus dibahas. Pada dasarnya, dalam skala pendidikan, ada 6 tahapan hingga level critical thinking. Namun tahukah kamu jika banyak yang mengatakan jika level siswa Indonesia umumnya masih di level terendah alias Low Order Thinking?
Fakta ini sungguh mengejutkan karena sejatinya untuk menjadi sebuha tenaga analis, apalagi di ranah yang memerlukan pemikiran kritis dan berbasis data, diperlukan pencapaian paling tidak di level high order thinking. Di level ini dikatakan seorang siswa sudah dapat menganalisa suatu pertanyaan kritis yang disampaikan. Tentunya ini harus menjadi fokus Pemerintah dalam mempersiapkan tunas bangsanya.
Salah satu cara yang dilakukan Pemerintah untuk mencapai level kritis adalah dengan memperbanyak pemberian soal berbasis HOTS dalam ujiannya. Soal tersebut biasanya berbentuk esai. Sudah tidak zaman lagi menggunakan soal pilihan ganda, bukan? Tujuannya tentu saja, agar siswa mampu menalar dan berpikir kritis tentang kasus yang dilontarkan dalam ujian.
Salah Persepsi Antara Jurusan dan Karir
Ini dia yang masih diyakini masyarakat Indonesia terkait pendidikan dan pekerjaan. Banyak yang masih beranggapan, terlebih para orang tua, jika sebuah jurusan yang diambil semasa sekolah akan menentukan karir di masa depan. Misalnya saja seorang siswa yang mengambil jurusan matematika. Banyak yang berpikir jika jurusan tersebut mempunyai peluang karir yang sempit. Padahal sebenarnya, seseorang dari jurusan matematika dapat mencari setidaknya 15 lapangan pekerjaan yang sesuai dan berpeluang masuk lho. Bahkan, jurusan matematika tersebut kadang digaji fantastis, misalnya saja data scientistย di pusat penelitian.
Demikian, ulasan mengenai pendidikan di Indonesia yang ada di bagi-in.com. Seperti yang dikatakan Anies Baswedan, kasus pendidikan dan permasalahan yang mendera ini harus diselesaikan sebaik mungkin lantaran pengetahuan adalah kunci kesejahteraan seseorang. Semoga bisa bermanfaat dan semoga pendidikan di negara kita menjadi semakin baik.